Logitech X100, Mobile Wireless Stereo Speaker Trendi, Stylish, Murah

Logitech X100 Mobile Speaker
Beberapa hari yang lalu,  Logitech memperkenalkan Logitech X100 Mobile Speaker, sebuah speaker wireless portabel yang menawarkan portabilitas tinggi dengan kualitas suara terbaik di kelasnya khusus bagi pengguna dengan gaya hidup aktif di Indonesia.

Tentunya peluncuran Logitech X100 mobile speaker ini dilandasi semakin banyaknya pengguna mobile yang ingin menikmati alunan musik melalui speaker yang terkoneksi via Bluetooth. 
Dengan desain mungil warna-warni Logitech X100 menjanjikan audio berkualitas tinggi. Logitech X100 didukung konektivitas Bluetooth, baterai dengan daya tahan hingga lima jam, serta mikrofon terintegrasi untuk menjawab panggilan telepon, Speaker wireless portabel ini diharapkan dapat menunjang segala aktivitas pengguna yang dinamis dan menjadi sahabat terbaik saat bepergian.

Menurut Sony Wahib, Logitech Cluster Category & Marketing Manager, Asia Tenggara, Logitech menciptakan Logitech X100 Mobile Speaker untuk menghadirkan pengalaman connect and play yang intuitif kepada pengguna, Desainnya yang ringkas dan dukungan konektivitas Bluetooth memudahkan pengguna untuk membawanya  saat bepergian sehingga merekapun dapat menikmati suguhan musik secara nirkabel langsung dari perangkat, kapan dan di manapun berada.  

Untuk mempercantik tampilan, Logitech X100 Mobile Speaker tampil dalam balutan empat warna-warni baru, yakni warna Hitam dengan Grill Abu-Abu, Ungu dengan Grill Kuning, Biru dengan Grill Oranye, dan Cyan dengan Grill Hijau. Untuk melengkapi kesempurnaan tampilan dan performanya, speaker portabel ini juga telah dilengkapi dengan sebuah tali berbahan nylon sehingga pengguna dapat lebih leluasa untuk menempatkannya di mana saja. Selain itu, Logitech X100 dilengkapi juga dengan kabel micro-USB yang memudahkan pengguna untuk mengisi ulang daya baterai lithium-ion-nya. 

Bila kita lihat gaya hidup mobile saat ini memaksa pengguna perangkat mobile mencuri-curi waktu santai untuk sekadar bersantai menikmati musik sambil beristirahat. Kondisi ini akan lebih baik tentunya jika mendengarkan musik dengan ditemani oleh wireless speaker seperti Logitech X100 ini. Terlebih jika bepergian, bila bosan dengan suara alunan musik yang keluar speaker pemutar musik yang ada, Logitech X100 ini bisa dimanfaatkan selagi bisa terkoneksi dengan Bluetooth. 

Hal yang lebih menyenangkan lagi, Logitech tidak mematok mahal harga Logitech X100 ini. Logitech mematok harga sekitar Rp 569.000 untuk Logitech X100 di mana harga ini cukup terjangkau.

Meskipun baru dirilis di Indonesia Logitech X100 ini sudah memperoleh sambutan yang cukup baik dari berbagai review di internet. Situs teknology CNet mengatakan:
In the end, the X100 is one of the better micro wireless speakers out there. While its sound is decent for its class, ultimately you'd probably want to pick it over its competitors because you like its design (I do) and maybe because it costs slightly less. Some colors can sometimes be had for closer to $40 USD, which seems more like what you'd want to pay for this speaker.
Dari kesimpulan CNet tersebut terdapat tiga keunggulan Logitech X100 Mobile Speaker. Pertama suara yang bagus untuk kelasnya, desain yang unik serta warna-warna yang bagus, dan ketiga adalah harganya yang kompetitif.

Bila kita lihat lebih jauh, dari sisi suara sebagaimana diungkapkan oleh Logitech, wireless speaker mini X100 ini menghasilkan suara sebening kristal. Namun tentu saja hal ini perlu diuji terlebih dahulu dan CNet secara tidak langsung telah mengakuinya. 

Kedua dari sisi desain dan warna yang diberikan Logitech memang lebih beragam. Desain bulat dan ada tali yang bisa dikaitkan ke tas mempermudah Logitech ini dibawa. Warna-warni Logitech X100 dapat dilihat sebagai berikut:





Keunggulan ketiga adalah dari sisi harga. Tampaknya Logitech cukup paham bahwa harga merupakan unsur yang tetap masih penting bagi pengguna terlebih untuk asesoris yang terbilang sebagai asesoris yang menambah gaya pengguna. Dengan mematok harga sekitar 49 USD atau sekitar Rp569.000,00 saya rasa Logitech mampu bersaing dengan merek lain yang juga menawarkan harga cukup bersaing.

Lebih lanjut untuk pertimbangan pembelian Anda bisa menonton video berikut ini.


Related Posts:

ASUS ZenPower, Power Bank Mini Kekuatan Maksi

Asus ZenPower seukuran kartu kredit
Booming power bank saat ini bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Sekitar satu setengah tahun yang lalu, vendor smartphone seperti Asus, Xiaomi, Samsung hampir tidak melirik bisnis power bank ini. Waktu itu banyak sayaa temukan power bank dengan merek yang aneh-aneh alias buatan China dengan nama yang tidak dikenal. Dengan alasan itu saya hampir-hampir tidak pernah membeli power bank. Alasan lain adalah belum adanya suatu standar yang bisa dipercayai terkait teknologi power bank yang disebabkan oleh tidak masuknya vendor smartphone yang notabene sebagai pengguna power bank.

Namun seiring waktu, vendor smartphone mulai melirik bisnis power bank ini. Kini kita menemukan berbagai power bank yang dibuat oleh vendor smartphone sebagai back up untuk smartphone mereka. Hal inilah yang dilakukan ASUS dengan merilis ZenPower, power bank mini berkekuatan maksimal, yaitu 10.050 mAh.

ASUS memberikan tag untuk ZenPower ini dengan sebutan power bank seukuran kartu kredit. Sebutan itu mungkin ada benarnya, meskipun ukuran panjang ZenPower sedikit lebih panjang daripada kartu kredit. Namun jangan berandai-andai ZenPower memiliki ketipisan ala kartu kredit. ZenPower cukup tebal, hampir sama tebalnya dengan salah satu power bank yang saya miliki sebelumnya. ZenPower memiliki berat sekitar 215 gram.

Desain

Desain port ZenPower Dibandingkan
dengan Mi Power Xioami
Secara desain, ZenPower hampir tidak berbeda dengan jenis power bank lainnya. Unit yang saya pakai berwarna perak berbentuk persegi empat, dengan bagian-bagian sudutnya berbentuk kotak. Dibandingkan dengan salah satu power bank yang saya pakai, ZenPower sedikit lebih lebar.

Jika dilihat kepada desain port, ZenPower memilih posisi yang berbeda untuk lampu LED dan port charging. Bila di power bank saya sebelumnya posisi port charging berada di tengah, di ZenPower posisinya berada di bagian paling kanan. Sampai saat ini hampir tidak ada suatu keuntungan berarti dari desain port ini karena memang hal ini sama saja dalam melakukan pengecasan baterai.


Seperti telah disinggung sebelumnya, ASUS mengatakan bahwa ZenPower merupakan power bank seukuran kartu kredit dengan daya yang lebih besar. Hal ini ada benarnya. Power bank saya sebelumnya dengan ukuran yang hampir sama dengan ZenPower hanya memiliki daya 5200 mAh. 

Ukuran Ketebalan ZenPower

ZenPower dengan kekuatan 10050 mAh

ZenPower vs Mi Power Bank

ZenPower vs Mi Power Bank

ZenPower posisi berdiri

Teknologi

Salah satu keuntungan terjunnya vendor smartphone ke dalam bisnis power bank ini adalah sisi teknologi. Dengan pengalaman mereka yang lebih luas terkait baterai smartphone/tablet Android, pengguna bisa berharap teknologi tertentu yang dibenamkan ke dalam power bank.

ASUS sepertinya mengetahui hal ini dengan memberikan beberapa teknologi yang mungkin tidak dimiliki oleh power lainnya. Salah satu teknologi yang dibenamkan ASUS pada ZenPower adalah Quick Charging yang men-support 2,4 ampere quick charging. Dengan teknologi ini tentu saja diharapkan waktu pengisian baterai menjadi lebih pendek dibandingkan dengan power bank lainnya. Selain itu ASUS menambahkan fitur keamanan ASUS PowerSafe untuk ketenangan selama pengisian baterai. ASUS juga memberikan high standard USB connector durability yang telah melalui 5.000 kali tes.

Tentunya teknologi yang ditawarkan ASUS di atas rata-rata yang bisa diberikan oleh merek lain. Selama ini pengguna hampir tidak menemukan power bank yang didesain dan diberikan teknologi yang sedemikian serius seperti yang diberikan ASUS kepada ZenPower ini.

Kinerja

Sebagai power bank dengan daya cukup besar, yaitu 10050 mAh ASUS berharap bisa menjembatani hal yang selama ini dialami oleh mereka yang sangat mobile, yaitu kehabisan daya baterai smartphone/tablet. 

Saat ini hampir semua pengguna smartphone/tablet mem-back up baterai mereka dengan power bank. Hal ini tentu saja didasari kekhawatiran habisnya daya baterai selama melakukan aktivitas mobile, berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga tidak sempat melakukan pengecasan ulang baterai. 

ASUS ZenPower ini tidak hanya dimaksudkan untuk mem-back up ZenFone 2 yang memiliki baterai 3000 mAh, tetapi hampir semua smartphone/tablet yang berbasis Android dan perangkat lainnya yang menggunakan port universal ala Android. Kemungkinan besar ZenPower mungkin tidak compatible dengan perangkat berbasis iOS, namun perlu dilihat lebih dahulu sebab saya bukan pengguna iOS Apple. ZenPower juga compatible dan bisa digunakan untuk mentenagai perangkat berbasis iOS seperti iPhone dan iPad yang tentunya harus menggunakan kabel yang sesuai. 

Pertama sekali ketika menggunakan ZenPower yang saya lakukan adalah mengecasnya sampai penuh, sekitar 7-8 jam. Ketika melakukan pengecasan, lampu indikator LED menunjukkan 2 titik yang telah terisi penuh. Ini artinya ketika mulai mengecas ZenPower ini memiliki kekuatan setengah dari kekuatan aslinya 10050 mAh. Seperti power bank lainnya, ketika mengecas, lampu LED akan berkerlap-kerlip dan nanti ketika penuh akan bercahaya penuh dan ZenPower dapat digunakan.

Saya melakukan pengujian pertama dengan mengisi baterai smartphone saya yang berkekuatan 2400 mAh. Saat akan memulai pengecasan, indikator baterai menunjukkan posisi 20%. Smartphone saya matikan dan mulai mengecas. Butuh waktu sekitar 2 jam dari posisi 20% hingga menunjukkan posisi full 100% dengan menggunakan ZenPower.  

Pengujian kedua adalah dengan mengisi baterai smartphone yang berkekuatan 2500 mAh dalam posisi menyala dan sinyal operator ON. Pada saat akan memulai pengisian indikator baterai menunjukkan posisi 18%. Waktu yang dibutuhkan hingga fully charged hampir sama, yaitu 2 jam. 

Pengujian ketiga kembali saya mengisi smartphone yang pertama, tetapi dengan indikator baterai lebih rendah, yaitu 15%. Waktu yang dibutuhkan juga tidak berbeda, sekitar 2 jam.

Setelah tiga kali melakukan pengisian baterai smartphone dalam satu kali charging, LED ZenPower bersisa 1 (penuh) yang artinya masih tersedia sekitar 5 sampai 25% daya dari kekuatan 10050 mAh yang tersedia.

Hal ini menunjukkan kinerja yang cukup bagus. Dalam buku panduannya ASUS mengatakan bahwa ZenPower bisa mengisi ulang ZenFone 2 (3000 mAh) lebih dari dua kali. Dengan kapasitas baterai smartphone saya yang lebih kecil, hal ini bisa dilakukan sebanyak tiga kali dan dayanya masih bersisa sekitar 5 sampai 25%. 

Terus terang waktu pengisian sekitar dua jam hingga fully charged ini tidak bisa saya katakan cepat atau sama saja dengan power bank lainnya dan apakah teknologi quick charging sudah bekerja dengan baik pada ZenPower ini karena ketiadaan pembanding yang relevan. Namun jika dibandingkan dengan pengisian biasa yang saya lakukan (tidak menggunakan power bank) ZenPower sedikit lebih cepat. Biasanya hingga fully charged saya melakukan pengisian 2,5 jam, dengan ZenPower sekitar 2 jam saja.

Jika digunakan untuk mentenagai iPhone yang daya baterainya di bawah 1700 mAh, ZenPower ini tentu sangat membantu dan dapat digunakan lebih dari tiga kali.

Kesimpulan

Dengan hasil uji ini, terlihat ZenPower sangat bisa diandalkan pengguna dengan mobilitas yang tinggi untuk mem-back up daya baterai smartphone atau tablet mereka. Saya rasa dengan berbagai teknologi yang diberikan ASUS kepada ZenPower ini dan kinerja yang juga sangat baik, ZenPower ini bisa dijadikan pilihan dalam membeli power bank. 

Sudah saatnya pengguna beralih untuk membeli power bank yang secara resmi dirilis oleh vendor smartphone seperti ZenPower ini karena dengan harga yang mungkin tidak begitu jauh berbeda, pengguna memperoleh power bank branded yang diberikan jaminan oleh vendor.

Related Posts:

Xiaomi Kalahkan Apple, Google, Facebook di MIT 50 Smartest Companies 2015

MIT 50 Smartest Companies 2015 merupakan daftar 50 perusahaan ter-smart yang setiap tahun dirilis oleh MIT Technology Review. Meskipun mungkin tidak seheboh review brand terpopuler namun daftar ini seringkali menghasilkan daftar yang luar biasa berbeda dibandingkan daftar-daftar sejenis yang dihasilkan berbagai lembaga setiap tahun.

Berbeda dengan berbagai daftar atau peringkat perusahaan yang dikeluarkan lembaga lain, hampir tidak bisa kita temukan suatu penilaian yang pasti tentang kriteria ter-smart yang digunakan oleh MIT Technology Review. Namun demikian, Anda akan cepat memaklumi hasilnya jika melihat daftar yang mereka hasilkan. Artinya, You See It, and You Understand It.

Satu-satunya kalimat yang bisa kita jadikan patokan untuk memahami daftar ini adalah sebagaimana yang dituliskan oleh MIT Technology Review dalam pengantar daftar MIT 50 Smartest Companies 2015 mereka, yaitu:
To make the list, a company must have truly innovative technology and a business model that is both practical and ambitious, with the result that it has set the agenda in its field over the past 12 months.
Dari kalimat tersebut tidaklah mengherankan bahwa Anda mungkin saja tidak mengenali beberapa perusahaan yang ada di dalam daftar yang dihasilkan oleh MIT Technology Review. Bahkan pada daftar yang mereka keluarkan di tahun 2014 yang lalu, perusahaan sekelas Apple Inc. tidak masuk ke dalam daftar mereka.

Nah bagaimana dengan tahun 2015?

Ada perusahaan yang cukup mengejutkan dan mengalami lompatan besar dibandingkan tahun 2014 yang lalu, yaitu Xiaomi. Perusahaan yang sering disebut Apple dari China ini melakukan lompatan besar dari posisi 30 di tahun 2014 menjadi posisi 2 di tahun 2015.

Peningkatan Xiaomi ini mengalahkan perusahaan-perusahaan besar asal Amerika seperti Google yang harus rela turun peringkat dari peringkat tiga di tahun 2014 menjadi peringkat 12 di tahun 2015. 

Bila kita perhatikan Xiaomi dalam 12 bulan terakhir, perusahaan ini mengalami lompatan besar-besar dalam jumlah pengapalan smartphone. Mereka juga mempelopori smartphone harga murah dengan fitur yang sangat bagus. Selain itu, mereka mengklaim diri sebagai internet company sehingga lebih leluasa melakukan berbagai usaha dan lebih menekankan harga produk yang murah dengan harapan pengguna membeli layanan yang mereka sediakan di internet.

Xiaomi bukan hanya menghasilkan smartphone dan tablet tetapi banyak produk lain seperti televisi 4k, power bank, audio dan lainnya. Hal ini membedakan diri mereka dengan perusahaan lain yang mengalami peningkatan pesat di 12 bulan terakhir.

Perkembangan drastis Xiaomi ini tidak terlepas dari perekrutan mantan karyawan Google, yaitu Hugo Barra. Sejak Hugo Barra masuk, Xiaomi melakukan ekspansi besar-besaran keluar China (India, Malaysia, Indonesia, Philipina) dan dalam waktu dekat mungkin mereka akan memasuki pasar AS secara penuh setelah mendirikan toko digital mereka untuk konsumen AS.

Apa yang dilakukan Xiaomi ini akhirnya memperoleh pengakuan dari MIT Technology Review meskipun masih kalah dibandingkan perusahaan asal AS, yaitu Tesla. Saya rasa Tesla memang pantas berada di peringkat pertama dengan inovasi mereka dalam bidang mobil listrik dan baterai yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Tesla yang sebelumnya hampir bangkrut dan terjual ke Google, perlahan-lahan bangkit dan memproduksi berbagai macam mobil listrik yang sophisticated. Elon Musk sudah sedemikian bagus melakukan transformasi di Tesla sehingga membuat Tesla menjadi brand mobil listrik terdepan saat ini.

Lalu di mana posisi perusahaan-perusahaan besar asal AS lainnya?

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, di  MIT 50 Smartest Companies 2015 perusahaan teknologi AS seperti Google, Apple, Facebook dan Microsoft kalah kelas dibandingkan perusahaan yang skalanya lebih kecil.

Google berada di posisi 12 (sebelumnya di peringkat 3), Amazon di posisi 13 (sebelumnya 10), Apple Inc. di posisi 16 (sebelumnya tidak masuk), Facebook di posisi 29 (sebelumnya tidak masuk), dan Microsoft di posisi 48 (sebelumnya tidak masuk).

Pemimpin pasar smartphone asal Korea Selatan malah bernasib lebih jelek. Setelah berada di posisi 4 pada tahun 2014 yang lalu, di tahun 2015 keluar dari daftar MIT 50 Smartest Companies 2015. Saya rasa ini sangat logis mengingat dalam 12 bulan terakhir Samsung mengalami penurunan drastis, tidak hanya dalam inovasi tetapi juga jumlah keuntungan yang mereka hasilkan.


Related Posts:

First Impression: ZTE Blade S6, Smartphone Kelas Menengah ZTE

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya saya bisa juga menggunakan ZTE Blade S6 dari ZTE Indonesia. Sebagaimana sudah saya ceritakan sebelumnya di Hands On ZTE Blade S6, smartphone kelas menengah dari ZTE ini cukup menarik. Dengan spesifikasi yang lumayan bagus harga yang ditawarkan tidaklah terlalu mahal dan cukup bisa bersaing di kelasnya.

Secara rancang bangun, ZTE Blade S ini berbentuk bar dengan sudut bulat  di bagian atas dan bawahnya. Tidak jauh-jauh, jika Anda melihat ZTE Blade S6, anda akan teringat dengan iPhone 6 karena desainnya memang layaknya iPhone 6, bahkan bagian belakangnya juga mengikuti gaya Apple dengan pernyataan Designed By ZTE in California, Assembled in China.

Saya baru bisa menggunakan ZTE Blade S6 hari ini (17/6) setelah di-unboxing sehari sebelumnya. Untuk video Unboxing dapat ditonton di bawah ini:



Setelah melakukan pengisian baterai selama 6,5 jam (saya  biasanya mengisi baterai lebih dari 4 jam untuk smartphone yang pertama kali saya gunakan) akhirnya saya bisa menggunakan ZTE Blade S6 ini dengan koneksi WiFi. 

Perlu diketahui bahwa setiap menggunakan smartphone baru, koneksi WiFi merupakan pilihan saya karena akan sangat banyak aplikasi yang harus diupdate dan mendownload tambahan aplikasi yang saya butuhkan.

Secara desain, seperti sudah saya katakan sebelumnya, ZTE Blade S6 ini meniru iPhone 6. Bagi saya hal ini bukanlah masalah. Hal yang terpenting adalah apakah smartphone ini cukup bernilai dengan uang yang akan dikeluarkan konsumen untuk memilikinya.

Untuk kinerja, kesan pertama saya sangat lancar. Fungsi multitasking berjalan sangat lancar. Dengan prosesor Qualcomm Snapdragon 1,5 Ghz octa core 64 bit, saya rasa pengalaman menggunakan smartphone ini sangat baik. Sejauh ini yang belum saya lakukan adalah bermain game, selebihnya seperti Maps, Waze, mendengarkan musik, menonton video YouTube, media sosial (Twitter dan Google Plus) berjalan dengan mulus. 

Kegiatan lain adalah mengambil foto yang sangat banyak, mengambil screen shot tampilan layar, download foto dari Google Plus, dan transfer file via bluetooth. Semuanya dapat berjalan dengan mulus. Mengambil screen shot pertama kali agak repot karena tombol volume (-) segaris dengan tombol power. Saya mengakalinya dengan melintangkan smartphone ZTE Blade S6 ini dan bisa melakukannya dengan baik.

Layar ZTE Blade S6 ini juga cemerlang. Saya menikmati layar ini dan terasa sekali perbedaannya dengan smartphone lain yang saya pakai, yaitu Kata i4. Sudut-sudut layarnya membulat, enak dipandang mata. Mengatur kecerahannya juga tidak sulit.

Setelah lebih dari enam jam menggunakan secara terus-menerus, baterai ZTE Blade S6 ini menunjukkan angka 22%. Hal ini agak mengkhawatirkan karena koneksi yang dipakai adalah WiFi. Namun tentu akan dilihat dan dibandingkan nanti setelah saya menggunakan SIM Card 4G LTE dan 3G.

Soal hasil foto, saya rasa untuk smartphone kelas menengah apa yang dihasilkan oleh ZTE Blade S6 ini sudah sangat memadai. Di kamera ZTE Blade S6 terdapat beberapa metode pengambilan foto, seperti Simple, Auto, HDR dan lainnya. Sejauh ini yang sering saya pakai adalah Simple dan Auto. Hasilnya cukup bagus.

Secara keseluruhan, kesimpulan saya dari pemakaian pertama kali adalah ZTE Blade S6 ini layak dibeli karena harganya memenuhi ekspektasi dan kemampuan yang diberikannya tidak mengecewakan. Berikut ini beberapa foto dan screen shot yang saya ambil dengan ZTE Blade S6.

Storage

Test CPU-Z

Tes Antutu

Tes Antutu

Tes Geekbench

Foto pertama

Foto kedua

Mode kamera

Kinerja baterai


Demikian kesan yang bisa saya tuliskan saat pertama kali menggunakan ZTE Blade S6. Nantinya mungkin akan lebih lengkap pada artikel review.


Related Posts:

Apple: Kebohongan Soal Data dan Privasi

Beberapa waktu terakhir CEO Apple sangat sering menyerang perusahaan lain terkait penanganan data dan privasi pengguna. Tidak jelas perusahaan mana yang dituju, namun bisa disimpulkan Google adalah sasaran tembak utama Tim Cook soal data dan privasi pengguna ini. 

Coba saya kutip apa yang dikemukakan oleh Tim Cook tersebut sebagaimana ditulis ulang oleh Thomas Baekdal di Google Plus:
I’m speaking to you from Silicon Valley where some of the most prominent and successful companies have built their businesses by lulling their customers into complacency about their personal information. They’re gobbling up everything they can learn about you and trying to monetize it. We think that’s wrong. And it’s not the kind of company that Apple wants to be. So we don’t want your data. “
“We don’t think they’re worth have your email or your search history or now even your family photos data-mined and sold-off for God-knows-what advertising purpose.”
Beberapa waktu kemudian, di WWDC 2015, Apple merilis aplikasi baru mereka yang disebut News. Ini mungkin semacam Google News atau Flipboard versi Apple. Dan saya rasa Apple mungkin mengambil sebagian ide untuk News dari aplikasi tersebut. 

Di halaman produk News, Apple mengatakan: 
The stories you really care about. The more you read, the more personalized the News app becomes, refining the selection of stories delivered to your screen so they are relevant to you. Easily share articles with others and save them to read offline. News stays on top of the stories you’re interested in. So you can, too.”
Selama saya menggunakan layanan internet, tentu saya mengenal tracking, salah satunya melalui cookie. Cookie akan melakukan tracking halaman apa saja yang dibuka pengguna, kebiasaan browsing pengguna, dan hal-hal lain yang memudahkan pengguna dalam berselancar di internet. Saya kira demikian juga sebagian aplikasi yang kita pakai. Misalnya Flipoard akan melakukan tracking berita yang menjadi minat pengguna, apa saja kesukaannya.

Saya kira hal yang sama dilakukan oleh Google dan juga Apple. Seperti kata Thomas Baekdal dalam postingannya adalah suatu yang sulit untuk menentukan minat pengguna terhadap News dan menghadirkan yang sesuai minat tersebut tanpa melakukan tracking.  Jika dengan demikian hampir tak ada bedanya Apple dan Google, mereka sama semua melakukan tracking pengguna.

Lalu mengapa Apple seolah-olah berlaku sebagai pembela soal data dan privasi pengguna nomor satu di dunia?

Hal ini mengingatkan saya pada mantra Distortion of Fields yang sangat terkenal itu. Apple berusaha berbohong secara halus soal data dan privasi pengguna dan belagak pembela data dan privasi pengguna karena desakan luar yang sulit mereka hindari terutama head to head dengan Google. Mereka ingin mengalihkan perhatian pengguna ke data dan privasi, padahal yang Apple alami saat ini adalah kompetisi yang semakin keras antara Apple dan Google.

Anda dapat membaca secara keseluruhan apa yang dikemukakan oleh Thomas Baekdal dalam postingannya tersebut di Google Plus. Kesimpulannya bagi saya adalah Apple mencoba menarik pengguna menggunakan Apple dengan mengagungkan data dan privasi pengguna karena seolah-olah Google menelantarkan hal ini. Padahal bila kita selami lebih jauh penanganan data pengguna Google selama ini baik-baik saja. Bahkan pengguna dapat memasang adblock secara bebas di Chrome browser untuk menghindari iklan yang ditampilkan oleh Google.

Distortion Fields merupakan senjata yang dipakai oleh Apple yang melenakan sebagian besar penggunanya, meskipun hasil akhirnya akan sama saja. Ini pun kemudian terus dipakai setelah Steve Jobs tak ada lagi yang sayangnya makin dikenali oleh banyak pihak. 

Bagi saya sendiri adalah lucu bila kita selami lebih jauh, ternyata Apple pun melakukan hal yang sama dan memiliki kebijakan data dan privasi yang sama dengan Google lalu seolah-olah berlaku sebagai pembela data dan privasi pengguna. Ini semacam kebohongan yang disengaja.

Tentu saja ada tujuan yang ingin dicapai Apple dari hal tersebut. Salah satunya adalah menjaga harga produk mereka tetap premium sehingga keuntungan tetap tinggi. Pengguna yang merasa data dan privasi mereka akan lebih baik dengan Apple tentu akan lebih memilih produk Apple meskipun harganya jauh lebih mahal. 

Harus diakui bahwa Apple dan Google memiliki basic yang berbeda. Google sebagai internet company sebagian besar pemasukannya dari iklan dengan memanfaatkan data pengguna. Apple tentu saja dari penjualan perangkat. Namun saya tidak percaya Google memberikan data dan privasi saya kepada pihak ketiga dengan cara-cara kotor hanya untuk segelitir uang. Sebagai pengguna layanan Google saya merasa layanan gratis yang mereka bayarkan sepadan. Toh saya masih sangat bisa memilih untuk tidak menampilkan iklan, menghapus cookies, bahkan sama sekali melakukan private browsing. Ini lebih kepada bahwa pengguna memiliki pilihan bukan karena membuat pengguna seolah-olah terlindungi.

Hal yang kita khawatirkan semestinyalah bukan Apple atau Google itu sendiri, tetapi data broker yang tidak jelas TOR-nya. Misalnya bila anda mengunjungi situs tertentu, situs tersebut bekerja sama dengan pihak ketiga mendulang data pengguna dan kemudian memperjualbelikannya. Ini seharusnya menjadi perhatian kita bersama dan mendorong Apple dan Google untuk lebih ketat mengawasi pihak ketiga yang masuk ke dalam ekosistem mereka. Bisa juga aplikasi-aplikasi yang Anda pakai yang begitu dalam meminta data Anda untuk bisa memasang aplikasinya, seharusnya menjadi perhatian karena bukan tidak mungkin aplikasi tersebut hanya payung untuk mendulang data dan privasi pengguna.


Related Posts:

Proyek Android One Google Gagal?

Dalam artikel terdahulu, saya sudah mengkhawatirkan bahwa Proyek Android One Google kemungkinan gagal, kalaupun tidak gagal mungkin akan biasa saja. Saya kutip bagian akhir dari artikel tersebut.
Tiga faktor tersebut menjadi sebab kemungkinan Android One tidak akan sebesar yang diharapkan oleh Google. Saya rasa, penjualan akan tetap ada, namun mungkin  akan datar-datar saja. Namun, hal ini bukanlah kata akhir. Saya rasa Google masih optimis untuk tetap meneruskan proyek Android One ini. Apalagi di Indonesia baru berjalan dalam hitungan bulan. Apa Kabar Android One Google?
Per hari ini Android Authority mengkonfirmasi bahwa penjualan Android One di India tidak sebagaimana diperkirakan oleh MediaTek, yaitu sekitar 2 juta unit. Penjualan di seluruh India diperkirakan hanya mencapai angka 800 ribu unit. Angka ini tentu sangat jauh dari yang diperkirakan oleh MediaTek.

Mengapa India yang dijadikan tolok ukur dalam hal ini? Tidak lain karena India merupakan pasar pertama yang dimasuki oleh Android One. Keberhasilan di pasar India akan bisa menjadi benchmark bagi pasar-pasar lain seperti Indonesia, Bangladesh atau Piliphina.

Bagi saya sendiri, sedari awal saya mengkhawatirkan proyek Android One ini. Saya agak pesimis karena harga smartphone Android yang sudah terlalu rendah. Namun saya tetap mengapresiasi langkah Google untuk memberikan pengalaman fully google dengan harga perangkat sangat murah. 

Sebagaimana pernah saya tulis sebelumnya, memasuki lapisan bawah dari pengguna Android ini hampir sama saja sulitnya dengan mengambil hati mereka yang ada di lapisan atas pasar. Jika dilapisan atas brand produk sangat berpengaruh, di lapisan bawah justru harga yang sangat penting.

Harga smartphone Android maksimal 100 USD itu sudah sangat banyak pemainnya. Motorola sangat bagus dengan seri Moto E-nya demikian juga vendor lain. Ketika Google memasuki pasar di mana pemainnya sudah sangat banyak ini, pengalaman ala Google yang ditawarkan Google tidak lagi menjadi daya tarik bagi pengguna. Apalagi masih sangat banyak smartphone dengan harga di bawah harga Android One ini.

Selain itu ketiadaan nama-nama vendor besar membuat proyek Android One ini kurang dukungan. Kita melihat kasus di Indonesia di mana Android One dipasok oleh tiga vendor lokal, Mito, Nexian, dan Evercross. Saya rasa penjualannya mungkin tidak akan jauh-jauh dari kasus di India.

Namun demikian walaupun bisa dikatakan gagal, Google dikabarkan tetap akan meneruskan proyek Android One ini.
Google stresses the fight is not over and we hope this is the case. They promise next-generation devices coming from almost 20 OEMs and state they will come in both low and mid-end price points. In fact, Caesar claims $100-$200 devices are growing faster than $70-$120 devices, as people who buy a second phone tend to go for more powerful options. 
Tampaknya Proyek Android One ini akan terus diupayakan oleh Google sebagai jalan untuk membawa miliaran orang berikutnya menggunakan internet. Namun caranya agak diubah dengan menggeser harga Android One antara 100 sampai dengan 200 USD. Kita melihat hal ini dengan peluncuran Android One di Turki yang spesifikasinya sangat bagus dan kemungkinan harganya lebih dari 100 USD.

Google tentu saja belajar dari pengalaman Android One ini. Bisa dikatakan kegagalan pertama ini lebih kepada strategi dengan menonjolkan pengalaman ala Google. Google kurang awas bahwa mereka yang kelas bawah kurang tersugesti dengan pengalaman ala Google tersebut. 


Related Posts:

Smartfren Rilis 5 Andromax 4G LTE Harga Mulai Rp999 Ribu

Bertempat di  Senayan City, Jakarta kemarin (9/6-2015) Smartfren Teleom, operator yang fokus menghadirkan smartphone murah berkualitas menghadirkan generasi berikutnya dari seri Andromax andalan mereka, yaitu Andromax 4G LTE. Tidak tanggung-tanggung Smartfren merilis lima buah Andromax 4G LTE, yaitu Andromax Ec, Androma Es, Andromax Q, Androma Qi, dan Andromax R dengan harga mulai dari Rp999.000.

Semua smartphone Andromax 4G LTE yang dirilis berbasiskan prosesor Qualcomm Snapdragon 410 1,2 Ghz Quadcore. Perbedaan terletak di luas dan kualitas layar, serta tambahan lapisan anti gores Dragon Trail di Andromax R. Satu lagi yang membedakan adalah dicangkokkannya Cyanogen 12 berbasis Android Lollipop pada Andromax Q.

Sejenak kita lihat spesifikasi masing-masing Androma 4G LTE Smartfren seperti berikut ini:

1. Andromax Ec dan Andromax Es

Seri ini merupakan seri termurah Andromax 4G LTE yang dirilis Smartfren. Harganya hanya Rp999.000. Smartfren memberikan kemampuan multi network, yaitu 4G LTE, EVDO (3G HSDPA), dan GSM yang aktif secara bersamaan. Menurut Smartfren, sebelum jaringan 4G LTE mereka aktif, smartphone ini akan terkoneksi ke jaringan EVDO yang selama ini menjadi andalan Smartfren. Nanti jika jaringan 4G LTE Smartfren aktif, smartphone ini akan secara otomatis terkoneksi ke jaringan 4G LTE tersebut.

Secara spesifikasi Andromax Ec dan Es tidak memiliki perbedaan. Perbedaannya hanya pada vendor yang memasok, yaitu Hisense dan Haier seperti yang pernah dilakukan pada seri Andromax C3s dan C3si.

Andromax Ec dan Es memiliki layar WVGA seluas 4 inchi. prosesor Snapdragon 410 1,2 Ghz quad core, , RAM 1GB dan ROM 8GB (plus slot micro SD card up to 32GB), kamera belakang 5 mpx, kamera depan 5 mpx, baterai 1500 mAh, serta teknologi DTS Sound (Andromax Ec) dan Dolby Digital Plus (Andromax Es).

Warna yang tersedia adalah Hitam dan Putih untuk Andromax ES serta Pearl Black dan Silver Grey untuk Andromax Ec.  



  2. Andromax Q dan Andromax Qi

Sama seperti seri Andromax Ec dan Es, pada seri Q, Smarfren juga menghadirkan dua buah smartphone yaitu Q dan Qi. Harga kedua smartphone seri Andromax Q dan Qi ini juga tidak berbeda, yaitu Rp1.299.000. Seperti pada Seri Ec dan Es, Smartfren menghadirkan multi network, yaitu 4G LTE, EVDO dan GSM.

Hal yang membedakan antara seri Andromax Q dan Qi adalah dicangkokkannya Cyanogen 12 yang berbasis Android Lollipop pada Andromax Q, sedangkan Andromax Qi berbasis Android Lollipop.

Andromax Q dan Qi memiliki layar FWVGA seluas 4,5 inchi, prosesor Snapdragon 410 1,2 Ghz quad core, RAM 1GB dan ROM 8GB (plus slot micro SD card up to 32GB), kamera belakang 5 mpx, kamera depan 2 mpx, baterai 2000 mAh untuk Andromax Q dan 1900 mAh untuk Andromax Qi.

Untuk Andromax Q berbasis Cyanogen, Smartfren memberikan kelebihan yang ditawarkan Cyanogen seperti personalisasi themes, Cyianogen AudioFX dan fitur keamanan dengan PIN Scramble. Untuk ketersediaan warna, Smartfren memberikan warna Dark Blue dan White untuk Andromax Q dan Black dan White untuk Andromax Qi.


3. Andromax R

Andromax R merupakan seri tertinggi yang dirilis Smartfren di koneksi 4G LTE. Harga yang diberikan Smartfren untuk Andromax R adalah Rp1.599.000. 

Spesifikasi Andromax R adalah layar IPS HD (720p) OGS seluas 5 inchi yang dilapisi Dragon Trail, 4G LTE-EVDO dan GSM, prosesor Snapdragon 410 1,2 Ghz quad core, RAM 1GB dan ROM 8GB (plus slot micro SD card up to 32GB), kamera belakang 8 mpx dan depan 5 mpx dengan triple flash. Warna yang tersedia untuk Andromax R adalah Black Gold, Black Silver dan White Silver.

Smartfren mengatakan bahwa setiap pembelian Andromax 4G LTE (apapun serinya), pelanggan akan mendapatkan bonus data sebanyak 8GB, 1000 menit panggilan sesama Smartfren dan 100 SMS lintas operator.

Melihat harga yang ditawarkan, tampaknya Smartfren menyasar lapisan entry level untuk merasakan cepatnya koneksi 4G LTE mereka yang untuk sementara memang belum aktif. Namun pelanggan tidak perlu menunggu koneksi 4G tersebut aktif untuk membeli Andromax 4G LTE ini karena bisa koneksi dengan jaringan EVDO CDMA Smartfren. 

Smartfren mengatakan bahwa kualitas merupakan hal yang sangat mereka tonjolkan sehingga harga murah yang mereka patok untuk Andromax 4G bukan karena kualitas murahan. Ini dibuktikan dengan menggunakan hardware yang berkualitas seperti chipset Qualcomm, sensor kamera dari Samsung dan Omnivision, Asahi Glass untuk Glass Panel (Dragon Trail untuk Andromax R), serta Samsung dan Hynix untuk RAM dan ROM.

Acara launching Andromax 4G LTE ini juga dimeriahkan oleh Giring Nidji yang menampilkan dua lagu andalan mereka. Sekadar info Giring Nidji merupakan brand ambassador untuk Smartfren.

Penampilan Giring Nidji dapat ditonton dalam video berikut ini.



Foto-foto launching Andromax 4G LTE dapat dilihat berikut ini:


MC membuka acara launching

Direktur Smartfren memberikan sambutan

Andromax 4G LTE diperkenalkan

Andromax 4G LTE

Model dengan tema pembalap memegang
Andromax 4G LTE

Pilih Mana?

Related Posts:

Omong Kosong Kepemimpinan Pasar Android

Pasar smartphone di Amerika Serikat masih dikuasai oleh Android. Hasil pencacahan terbaru yang beralhir di bulan April yang lalu oleh Comscore menunjukkan Android menikmati pasar sebesar 52,2%, sedangkan iOS Apple berada di angka 43,1% dan selebihnya Microsoft dengan 3% dan BlackBerry dengan 1,5% serta Symbian dengan 0,1%.
Tentunya bukan hanya di pasar Amerika Serikat Android memimpin pasar, baik smartphone maupun tablet. Pasar dunia sudah sejak beberapa tahun terakhir dikuasai oleh Android. Namun mungkin saja kepemimpinan pasar oleh Android tersebut hampir tidak ada artinya.
Angka-angka ini sebenarnya tidaklah semenarik beberapa tahun lalu di saat Android masih belum seeksis seperti sekarang ini. Dengan dukungan sedemikian banyak vendor saat ini, adalah suatu kemustian bahwa Android akan selalu memimpin pasar dibandingkan dengan platform lainnya. Justru platform yang selalu menjomblo seperti iOS yang seharus memperoleh apresiasi karena kesuksesan mereka bermain tunggal tanpa pertolongan dan menguasai ujung kue pasar smartphone, yaitu lapisan tertinggi dari pengguna smartphone/tablet.
iOS memang hanya menyasar lapisan atas dari pengguna smartphone. Lapisan ini menghargai kualitas hadrware, merek dan platform yang terintegrasi. Untuk itu mereka berani membayar mahal, meskipun fungsinya hampir sama saja dan kualitas hasil juga lebih banyak karena flatform yang terintegrasi tersebut dibandingkan dengan yang dihasilkan perangkat.
Sayangnya hal ini sangat sulit untuk diperoleh pada ekosistem Android. Dengan keterpecahan vendor yang berjumlah ribuan, kualitas perangkat dan pengalaman pengguna selalu menjadi titik lemah Android. Hal ini sebuah hal yang harus diakui oleh pengguna Android itu sendiri, sekaligus sebuah nilai plus karena pengguna menjadi tidak terlalu bergantung kepada vendor (kalau mereka cerdas memanfaatkan keterbukaan Android).
Google bukan tidak berusaha mengatasi hal ini dengan merilis seri Nexus dan juga seri Android One untuk entry level demi pengalaman pengguna yang lebih baik. Sejauh ini usaha tersebut bisa dikatakan belum berhasil. Terkadang perangkat Nexus pun masih jauh dari sempurna untuk bisa dibandingkan dengan iPhone.
Masalah lain dalam ekosistem Android adalah penetrasi seri terbaru dari Android yang seperti keong berjalan. Sudah lebih dari setahun, dan telah muncul pula seri Android terbaru, yaitu Android M, seri Android lama seperti KitKat, Jelly Bean masih luas dipakai. Ini semacam senjata olok-olok buat iOS Apple yang sebenarnya agak lucu untuk diperbandingkan karena sesungguhnya bukan salah Google juga mengapa vendor begitu lambat merilis seri Android terbaru untuk perangkat yang sudah ada di pasar.
Namun tentu, para fanboys iOS selalu beralasan bahwa Android ini melalui vendor terlalu malas untuk memberikan benefit bagi keseluruhan pengguna dan cenderung lebih memilih merilis smartphone terbaru daripada memberikan update yang jalannya cukup berliku.
Platform lain, misalnya BlackBerry dan Windows sepertinya akan terus kepayahan untuk bersaing dengan Android dan iOS. Windows misalnya, meskipun disokong penuh oleh Microsoft, penguasaan pasarnya tidak beranjak sekitar 3% di Amerika Serikat. Mungkin kalau secara global sekitar 5%. Platform dengan penguasaan pasar 5% ini sangat tidak menarik bagi pengembang sehingga memaksa Microsoft memasuki platform Android dan iOS dengan membeli atau membuat aplikasi dan menggratiskan aplikasi software andalan mereka seperti Office.
Sejauh pengamatan, Android yang sedemikian terbuka akan menjadi sasaran empuk Microsoft, sementara iOS akan tetap bisa menjaga platform mereka dari penetrasi yang terlalu dalam Microsoft. Ini sebuah ancaman tersendiri bagi Android dan Google karena meskipun berbasis Android, bukan suatu yang mustahil Windows melalui Microsoft dengan sumber daya melimpah memanfaatkan Android untuk kepentingan mereka sendiri.
Sebenarnya bagi vendor Android sendiri ada dilema. Mereka memutuskan merilis Android bukan semata karena memang komitmen, lebih kepada bahwa jika merilis Windows tidak ada yang membeli meskipun jika merilis Android belum tentu beruntung. Kita bisa melihat hanya sebagian kecil dari sekian banyak vendor Android yang bisa untung, yang lain cukup prihatin hanya menjadi pemain.
Di masa depan saya memperkirakan bahwa Android akan tetap berada di nomor satu, namun dengan berbagai kemungkinan penguasaan dari dalam oleh Microsoft. Google tentu bukan tidak mengetahui, langkah pencegahan telah dilakukan dengan fitur Google Now On Tap di Android M.
iOS akan cenderung berada di nomor dua sampai lapisan atas pengguna smartphone bosan dengan tampang iPhone yang itu-itu saja, dan itu membutuhkan waktu yang sangat lama.

Related Posts:

Membatasi Akses Anak terhadap Konten Dewasa di Google Play

Google Play
Kemajuan dunia smartphone/tablet khususnya Android tidak hanya memudahkan komunikasi, tetapi juga membawa bencana yang tidak sedikit bagi anak-anak. Oleh karena murahnya perangkat bergerak seperti tablet dan smartphone berbasis Android, membuat penetrasi mereka sedemikian dalam, tidak hanya pengguna dewasa, tetapi juga anak-anak.

Sayangnya sebagian besar konten yang disediakan di pasar aplikasi Google Play adalah untuk orang dewasa sehingga kemungkinan anak terpapar konten yang tidak pantas sangat tinggi. 

Google sangat menyadari hal ini dan sudah sejak lama berusaha mengurangi akses anak terhadap konten dewasa dengan berbagai cara. Jika orang tua berbagi tablet dengan anak ada Restricted profiles yang bisa dibuat oleh orang tua agar anak tidak bisa mengakses aplikasi tertentu yang tidak sesuai dengan umur mereka.

Namun kini kecenderungannya orang tua tidak lagi berbagi perangkat dengan anak. Oleh karena harga perangkat yang terjangkau, orang tua cenderung lebih suka membelikan anak mereka tablet atau smartphone tersendiri. Sayangnya pemberian tablet atau smartphone kepada anak tersebut tidak diiringi dengan literasi atau penjelasan kepada anak bagaimana perangkat tersebut bisa sangat bermanfaat bagi mereka. Anak cenderung dibiarkan menggunakan smartphone atau tablet, orang tua cenderung happy dengan kedekatan anak dengan perangkat yang sebenarnya bisa sangat berbahaya bagi anak itu sendiri.

Untuk itulah pentingnya orang tua mengetahui terlebih dahulu apa yang pantas dan tidak pantas dikonsumsi anak dari pasar aplikasi Google Play. Orang tua sebelum memberikan perangkat ada baiknya melakukan setting terhadap perangkat terkait dengan aplikasi apa saja yang bisa digunakan anak. Caranya dapat dilakukan sebagai berikut.

Langkah pertama adalah membuka aplikasi Google Play. Pada sisi kiri aplikasi terlihat Setting. Pilih Setting lalu pilih Parental Control. Pada halaman yang baru geser bilah pilihan ON/OFF ke ON seperti terlihat berikut ini.


Setelah melakukan ON, orang tua diminta mengisi password. Isikan password sehingga kemudian akan muncul halaman berikut ini.


Pilih aplikasi yang sesuai dengan anak Anda yang nantinya akan menggunakan smartphone. Terdapat banyak pilihan, yaitu maksimal 3 tahun, maksimal 7 tahun , 12, tahun, 16 tahun, dan 18 tahun atau tampilkan semua termasuk yang Unrated. Setelah melakukan pemilihan akan tampil peringatan berikut ini. 


Peringatan di atas tidak perlu Anda risaukan, yang terpenting adalah akses anak terhadap konten yang akan mereka download sudah dibatasi sesuai dengan umur mereka. Hal ini penting karena anak-anak cenderung sangat cepat bosan dengan games tertentu dan selalu berusaha meminta games (terutama) yang baru. Ketika aplikasi dan games baru tersebut sudah disesuaikan dengan usia mereka, orang tua tidak perlu lagi khawatir.

Selain cara tersebut di atas, Google juga telah memberikan klasifikasi baru untuk aplikasi di Google Play dengan nama Family seperti gambar berikut ini.


Klasifikasi aplikasi Family ini membantu orang tua mengontrol apa saja aplikasi yang dikonsumsi anak. Berikan pengarahan kepada anak bahwa mereka seharusnya hanya mengakses klasifikasi aplikasi ini di Google Play demi keamanan mereka.

Dengan berbagai cara yang sudah disediakan Google tersebut, orang tua seharusnya bisa memanfaatkannya dengan baik. Orang tua tidak boleh abai dengan hal ini karena sangat terkait dengan anak mereka. Selain itu, perlu juga kesadaran dari orang tua untuk menyediakan waktu berbagi dengan anak ketika mereka menggunakan perangkat.

Dengan berbagai cara di atas, sebenarnya dampak buruk teknologi terhadap anak sangat dapat diminimalisasi. Kuncinya orang tua harus terlebih dahulu tercerahkan dan bisa menguasai teknik-teknik sederhana sebelum anak-anak menguasai perangkat.

Related Posts: